MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI

 MODEL-MODEL PEMBELAJARAN PENJAS

Model Pembelajaran Penjas Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai pilihan guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.

  1. Model Pendidikan Gerak (Movement Education)

Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984).  Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam kependidikan.

Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).

Analisis sasaran, model ini mengarah pada aspek kognitif. Karena pada model ini siswa ditekankan pada penguasaan konsep geraknya. Kelebihan dari model ini yaitu melatih daya pikir siswa untuk berfikir kreatif dan menambah pengetahuan siswa. Kelemahannya yaitu dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak serta lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga.

  • Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)

Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness(AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (Steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini.

Analisis sasaran, model ini mengarah pada aspek psikomotor. Karena model pembelajarannya melakukan aktivitas fisik setiap harinya. Kelebihan model ini yaitu aktivitas fisik meyenangkan, dapat dilakukan rame-rame, dapat meningkatkan keterampilan, dapat memelihara bentuk tubuh. Kelemahannya yaitu siswa kurang mengetahui tentang penguasaan materinya.

  • Model Pendidikan Olahraga (Sport Education)

Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan.

Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.

Analisis sasaran, model sport education mengarah pada aspek kognitif karena model ini berorientasi pada nilai atau penguasaan materi. Kelebihan model ini adalah siswa mengetahui materi tentang olahraga dengan baik sehingga olahraga bisa diakukan sesuai konsepnya. Kelemahannya yaitu kurangnya ketrampilan siswa dalam model ini.

  • Model Pembelajaran Kooperatif

Menurut Davidson dan Warsham “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik”. Slavin menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan begitu siswa akan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada mereka.

Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial. Johnson & Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.

Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut:

1)      Siswa dalam kelompok bekerja sama menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.

2)      Kelompok dibentuk secara heterogen.

3)      Penghargaan lebih diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu.

Analisis sasaran, model ini mengarah pada aspek afektif karena siswa diajarkan untuk diskusi dan kerjasama dalam kelompok. Kelebihannya yaitu siswa dapat berkomunikasi, saling berbagi ilmu, saling menyampaikan pendapat, dan saling menghargai pendapat teman sekelompoknya. siswa dapat berkomunikasi, siswa mempunyai tanggung jawab dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran, siswa dapat mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, meningkatkan ingatan siswa, dan meningkatkan kepuasan siswa terhadap materi pembelajaran. Kelemahannya yaitu jika ada siswa yang kurang berani maka ia tidak mampu mengikuti pelajaran dengan baik.

  • Model Pendekatan Taktis

Pendekatan taktis mendorong siswa untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah ini pada hakikatnya berkenaan dengan peberapan keterampilan teknik dalam situasi permainan. Dengan demikian siswa makin memahami kaitan antara teknik dan taktik. Keuntungan lainnya, pendekatan ini tepat untuk mengajarkan keterampilan bermain sesuai dengan keinginan siswa. Tujuan utama dari pendekatan taktis dalam pengajaran permainan adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep bermain.

            Pendekatan taktik bermain membantu memikirkan guru untuk menguji kembali pandangan filosofis mereka pada pendidikan bermain. Model mengajar ini memungkinkan siswa untuk menyadari keterkaitan antara bermain dan peningkatan penampilan bermain mereka. (Subroto 2001 : 4) menjelaskan tentang tujuan pendekatan taktis secara spesifik yaitu untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep bermain melalui penerapan teknik yang tepat sesuai dengan masalah atau situasi dalam permainan.

            Model pembelajaran permainan taktikal menggunakan minat siswa dalam suatu struktur permainan untuk mempromosikan pengembangan keterampilan dan pengetahuan taktikal yang diperlukan untuk penampilan permainan. Sedangkan pembelajaran masuk ke dalam alam pikir siswa, sehingga terbentuk struktur pengetahuan tertentu. Pembelajaran pendekatan taktikal dalam pendidikan jasmani adalah bagian dari pembelajaran kognitif.

            Dalam strategi pembelajaran pendekatan taktis yaitu lebih menekankan pada konsep game-drill-game. Game yaitu bermain, siswa dituntut untuk bermain dengan konsep-konsep yang yang diberikan oleh guru dan memahami tentang permainan itu. Drill yaitu pengulangan, guru harus lebih teliti melihat permainan siswanya dan apabila terjadi kesalahan dalam tugas gerak maka guru menghentikan pembelajaran dan memberikan contoh gerakan yang benar kemudian siswa melakuakn tugas gerak. Kemudian game yaitu bermain, setelah melakukan pengulangan atau drill siswa kembali melakukan permainan dengan perubahan tugas gerak yang telah dilakukan pada tugas drill. Pembelajaran melalui model pembelajaran pendekatan taktis membiasakan siswa untuk melatih kognitif, afektif, dan psikomotor.

            Pembelajaran taktikal mengutamakan pada pemanfaatan “masalah-masalah taktikal” sebagai perantara dan tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menunjukan masalah-masalah taktis yang diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan bagi siswa, sangat penting untuk mengenali posisi bermain di lapangan secara benar, pilihan-pilihan gerak yang mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang dihadapi siswa.

Analisis sasaran, model ini mengarah pada aspek kognitif karena siswa dituntut menemukan sendiri alasan-alasan yang melandasi gerak dan penampilannya. Kelebihannya yaitu siswa terlibat aktif dalam posisi bermain dilapangan secara benar. Kelemahannya yaitu bahwa keterampilan teknik dasar diajarkan kepada siswa sebelum siswa mampu memahami keterkaitan atau relevansi teknik-teknik dasar tersebut dengan penerapannya di dalam permainan yang sebenarnya.

  • Model Inkuiry

Model pembelajaran inkuiri diciptakan oleh Suchman (1962) dengan alasan ingin memberikan perhatian dalam membantu siswa menyelidiki secara independen, namun dalam suatu cara yang teratur. Ia menginginkan agar siswa menanyakan mengapa sesuatu peristiwa itu terjadi, memperoleh dan mengolah data secara logis, dan agar siswa mengembangkan strategi intelektual mereka untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Inkuiri adalah suatu pencarian makna yang mensyaratkan seseorang untuk melakukan sejumlah operasi intektual untuk menciptakan pengalaman. Pada prinsipnya model inkuiri merupakan model yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa di samping juga pada guru, dan yang terutama dalam model inkuiri adalah siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan suatu topik permasalahan hingga sampai pada suatu kesimpulan. Latihan inkuiri dapat diberikan pada setiap tingkatan umur (mulai dari Taman Kanak-kanak dan seterusnya), namun tentunya dengan tingkat kesulitan masalah yang berbeda.

Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah dengan waktu yang relatif singkat. Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional.

Analisis sasaran, mengarah pada aspek kognitif karena siswa mampu memecahkan permasalahan sampai kesimpulan. Kelebihannya yaitu siswa mampu mengembangkan kemampuan intelektual, termasuk pengembangan emosional. Kelemahannya yaitu siswa hanya diajarkan untuk berfikir yang logis dan tidak menambah ketrampilan siswa.

  • Direct Instruction/ Model Pengajaran Langsung

Guru adalah model yang baik dan harus sangat menguasai materi yang diberikan kepada siswa. Adalah sebuah kesalahan ketika menempatkan guru sebagai dewa yang tidak pernah salah. Cara ini akan sangat baik ketika tingkat penguasaan guru terhadap materi, siswa, lingkungan, skenario sangat-sangat “exelence”.

Arti mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa. a) Bagi guru: Guru adalah sumber utama dari semua perencanaan yang ada, Guru menentukan isi, tempat, aktivitas belajar dan peningkatan pembelajaran, Guru harus dapat mentranser ilmu dengan efektif dan efisien, Guru harus dapat memanfaatkan semua sumber yang ada untuk terlaksananya proses belajar, Guru disamping merencanakan juga merupakan pelaksana dari perencanaan yang diimplementasikan kepada siswa. b) Bagi siswa: Siswa belajar dari hal yang mudah ke sukar, sederhana ke komplek, Siswa harus dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari termasuk kreteria keberhasilan, Belajar merupakan konsekuensi yang akan ada “reward”, Siswa membutuhkan banyak bantuan dalam mempelajari bahan yang dipelajari, Dalam belajar siswa berhak untuk mendapatkan umpan balik agar terjadi proses belajar dengan benar.

Analisis sasaran mengarah pada aspek kognitif karena Siswa harus dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari termasuk kreteria keberhasilan. Kelebihannya yaitu siswa mampu menguasai materinya dengan baik. Kelemahannya siswa menjadi kurang kreatif karena narasumber berdasarkan guru. Jadi guru yang menguasai materi yang kemudian diajarkan ke siswa

  • Model Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial

 Model Hellison

Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching Responsibility Through Physical Activity.

Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development.

Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain.

Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”.

Melalui model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.

B.        Model Canter’s Asertif

Selain model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline.

Perbedaan model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk konsekuensi.

Analisis sasaran mengarah pada aspek afektif karena siswa berorientasi pada self-actualization dan social reconstruction. Kelebihannya siswa mampu mengembangkan sikap tanggung jawab, disiplin, dan berperilaku baik. Kelemahannya yaitu siswa kurang memiliki penguasaan pengetahuan dan keterampilan.

Daftar pustaka

http://pendidikanjasmani13.blogspot.co.id/2014/06/model-model-pembelajaran-penjas.html

Tahapan Belajar Fase Kognitif

TAHAPAN KOGNITIF

(Cognitive stage)

Istilah “kognitif” merujuk pada kemampuan berpikir dan memahami sesuatu. Sebelum melakukan suatu keterampilan gerak, tentunya seseorang harus memiliki konsep yang benar tentang gerakan tersebut. Pada tahapan kognitif akan terjadi proses pengolahan informasi. Terjadinya proses belajar gerak, karena adanya rangsangan eksternal (respon) yang diterima oleh indera penglihatan, pendengaran, rasa kinestesis. Selanjutnya oleh indera tersebut diteruskan ke sistem syaraf pusat yang akan diproses dan ditafsirkan serta disimpan dalam memori jangka pendek (short term memory), selanjutnya masuk pada penyimpanan jangka panjang (long term memory) lalu diterjemahkan dalam bentuk gerakan.

Proses pengolahan informasi gerak dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Proses Pengolahan Informasi. Sumber:RobertNSinger,TheLearningOfMotorSkills(NewYork:McMillanPublishingCo.,Inc,1982)
  1. Ciri-Ciri Umum

Perkembangan kognitif mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan perkembangan lain diantaranya bersifat kuantitatif, perubahannya linier dalam suatu tahap dan adanya perubahan kualitatif melintasi 4 tahapan utama, yaitu:

  1. Sensorimotor (0 – 2 tahun): ciri-cirinya adalah dunianya terbatas pada saat sekarang dan disini, belum mengenal bahasa, dan belum memiliki pikiran pada masa-masa awal.
  2. Pra-operasional (2 – 7 tahun): ciri-cirinya adalah Pikirannya bersifat egosentris, pemikirannya didominasi oleh persepsi, intuisinya lebih mendominasi dari pada pikiran logisnya, dan belum memiliki kemampuan konservasi.
  3. Operasional konkret (7 – 11 tahun): ciri-cirinya adalah memiliki kemampuan konservasi, kemampuan mengklasifikasi dan menghubungkan, pemahaman tentang angka, mampu berpikir konkret, dan memiliki perkembangan pikiran tentang reversibilitas.
  4. Operasional formal (11 tahun ke atas): ciri-cirinya adalah Pikirannya bersifat umum dan menyeluruh, mampu berpikir proposional, mampu membuat hipotesis, dan perkembangan idealismenya semakin kuat

.

  • Ciri-Ciri Khusus

Ciri- ciri khusus yang dimaksud dalam perkembangan belajar motorik adalah ciri-ciri yang lebih banyak dilihat dari kemampuan penugasan kordinasi. Sedangkan ciri-ciri lain seperti kemampuan kondisi merupaan ciri-ciri yang melengkapi. Maka fase belajar tingkat petama atau tahap kognitif  memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Struktur Dasar Gerakan

Struktur dasar gerakan tersebut dipelihatkan dalam suatu pelaksanaan masih dalam gerakan  yang kasar, misalnya Dalam pelaksanaan gerakan lay-up atau langkah tiga pada permainan bola basket. Struktur langkahnya sudah benar tetapi pelaksanaan gerakan secara keseluruhan masih belum lancar.

  • Irama Gerakan

Penguasaan irama gerakan bagi individu ini sangat belum sempurna. Dalam hal ini dapat dicontohkan dalam cabang olahraga renang. Irama-irama gerakan tangan dan kaki masih masih belom terkoordinasi dengan baik, bahkan terlihat tidak beraturan. Contoh lain yaitu pada olahraga lari gawang ini irama dapat dilihat secara nyata. Gerakan yang dilakukan pada saat belajar terlihat tertunda-tunda, terutama pada saat melompat gawang. Bahkan pada saat peserta didik anak melompat gawang sering kali menghentikan gerakannya. Dikarenakan langkah terakhir pada saat melompat terlalu kecil atau terlalu besar.

Irama gerak yang belum terkoordinasi pada contoh-contoh yang telah dikemukakan diatas disebabkan antara lain oleh :

  1. Belum memliliki pengalaman dan simpang motorik yang relevan dengan gerakan-gerakan yang sedang dipelajari
  2. Belum memiliki antisipasi gerakan dengan baik. Dengan pengertian lain bahwa peserta didik belum dapat mengantisipasi gerakan berikutnyayang harus dilakukan.
  3. Belum dapat mengatur dan mengendalikan implus tenaga sesuai dengan kebutuhan otot-otot yang bekerja . Akibatnya dapat kita lihat dari bagian-bagian gerakan yang kadang dilakukan dengan tenaga yang berlebihan atau tenaga yang tidak mencukupi.
  4. Hubungan Gerakan

Kemampuan hubungan gerakan yang dimiliki oleh individu ini sangat tidak sempurna. Dapat dilihat dari pelaksanaan gerakan secara keseluruhan. Hubungan dari bagian-bagian gerakan dari satu anggota tubuh ke anggota tubuh lain belum terkoordinasi dengan baik. Misalnya dalam lompat tinggi sering terlihat bahwa transfer gerakan-gerakan kaki, tangan dan badan tidak sinkron satu dengan yang lainnya. Transfer yang tidak sinkron ini dimaksudkan dengan gerakan yang tidak saling menunjang satu sama lain. Gerakan yang menunjang satu dengan yang lain maksudnya adalah ketepatan atau kesesuaian waktu.

  • Luas Gerakan

Luas gerakan dapat diartikan sebagai besarnya ruangan yang terpakai oleh bagian tubuh secara keseluruhan dalam pelaksanaan gerak. Misalnya luas gerakan yang terpakai oleh gerakan kaki pada saat berjalan atau berlari atau besarnya gerakan yang terpakai oleh gerakan tangan pada tenang gaya dada.

Pada fase pertama ini luas gerakan yang terpakai dalam pelaksanaan gerak belum konstan hal ini bukan disebabkan oleh kemampuan peserta didik dalam penyesuaian menurut kebutuhan, melainkan disebabkan kemampuan koordinasinya yang memang masih belum terbentuk. Oleh karenanya dalam pelaksanaan gerakan-gerakan terlihat luas gerakan yang terpakai kadang cukup besar dan kadang kecil.

  • Kelancaran gerakan

Pengertian lain dari kelancaran gerakan adalah aliran gerakan secara sederhana, kelancaran gerakan dapat diartikan sebagai kontinuitas jalannya suatu gerakan. Aliran gerakan yang ditampilkan masih belum lancar, yaitu masih tersendat-sendat. Contoh sederhana misalnya dalam lompat jauh, antara gerakan awalan dan menolak yang sering tersendat-sendat atau tertunda-tunda pada saat akan melakukan tolakan pada saat akan melakukan tolakan pada balok tolakan. Kurangnya kecepatan dan percepatan tersebut disebabkan karena pengaruh impuls/tenaga yang diberikan.

  • Kecepatan Gerakan

Individu yang berada pada fase belajar tingkat pertama belum memiliki kecepatan gerakan yang baik yaitu masih bersifat lamban dan kaku.

  • Ketepatan dan Kekonstanan Gerakan

Kekonstanan gerakan yang dimiliki oleh individu yang berada pada fase tingkat pertama ini boleh dikatakan tidak ada karena kemampuan yang dimiliki belum stabil atau belum dapat diukur.

  • Bayangan gerakan

Ciri-ciri lain dari fase belajar motorik tingkat pertama adalah bayangan gerakan yang masih belum sempurna (bayangan gerakan adalah : Bentuk konstruksi suatu gerakan yang berhasil dibangun oleh seseorang dalam pikirannya, berdasarkan informasi/instruksi yang diterima dan yang dapat diolahnya). Bayangan gerakan yang berhasil dibangun oleh individu yang berada pada fase belajar tingkat pertama masih kurang lengkap. Ketidak-lengkapan tersebut dapat diakibatkan oleh berbagai faktor antara lain :

  1. Ketidaklengkapan informasi yang diberikan oleh guru tentang bentuk dan sifat gerakan yang akan dilakukan.
  2. Tidak mengertinya peserta didik terhadap informasi-informasi tertentu. Misalnya istilah-istilah yang digunakan.
  3. Kurangnya pengalaman gerakan yang dimiliki oleh peserta didik.
  4. Salah mengerti terhadap informasi yang diberikan. Faktor-faktor di atas adalah faktor-faktor yang sering merupakan penyebab terjadinya ketidak-lengkapan konstruksi gerakan yang dapat dibangun oleh peserta didik. Akibat ketidak-lengkapan bayangan yang dikonstruksi, maka sering terjadi kesalahan-kesalahan di dalam pelaksanaan gerakan.
  5. Program gerakan

Program gerakan adalah rencana gerakan yang akan dilakukan oleh individu. Program gerakan meliputi : sistematika urutan gerakan, bentuk-bentuk gerakan, kekuatan dan kecepatan gerakan, pengaturan dan pengendalian pemberiann impuls-impuls tenaga kepada otot-otot yang bekerja dalam pelaksanaan gerakan yang dilakukan.  Artinya program gerakan baru memuat komponen-komponen gerakan yang bersifat umum atau yang penting-penting saja dan belum terperinci.

  • Ciri-ciri kemampuan penerimaan dan pengolahan informasi fase belajar tingkat pertama

Ciri lain dari fase belajar tingkat pertama juga dapat dilihat dari aspek penerimaan dan pengelolaan informasi. Dalam pelaksanaan aksi-aksi motorik atau gerakan-gerakan  olahraga ada lima indera penerimaan informasi yaitu : visual (pengelihatan), akustik (penalaran), taktil (kulit), kinestetik (otot), dan ventribular (alat keseimbangan).

Kelima indra penerimaan informasi ini tidak hanya berperan dalam penerimaan informasi tentang apa dan bagaimana suatu gerakan harus dilaksanakaan,tetapi juga berpedan dalam penerimaan feedback. Feedback yang dimaksut adalah tentang gerakan yang sedang berlangsung. Misalnya ,apakah kekuatan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu bentuk gerakan sudah cukup ,kurang atau berlebih dapat dirasakan oleh otot. Otot-otot sebagai ala analisis melapor ke pusat susunan saraf. Informasi ini akan diolah oleh pusat susunan saraf yang kemudian memberikan perintah untuk penambahan atau pengurangan kekuatan. Berdasarkan feedback ini dapat dilakukan pengendalian dan pengaturan gerakan-gerakan yang sedang dilakukan. Misalnya pengaturan tentang implus-implus kekuatan ,pengaturan dan pengendalian arah gerak dan sebagian nya.

Individu yang berada pada fase belajar tingkat pertama,belum memiliki kemampuan yang baik dalam penerimaan dan pengolahan informasi. Akibatnya ,sangat sedikit sekali terjadinya pengendalian dan peraturan terhadap kesalahan-kesalahan gerakan yang terjadi.

Pada fase belajar tingkat pertama ini,alat analisis yang sangat dominan dalam penerimaan informasi adalah mata. Sedangkan alat analisis informasi yang lain belum berperan dengan baik. Oleh karenanya,dalam memberikan informasi tetang apa dan bagaimana gerakanyang akan dilakukan sebaiknya selalu diiringi dengan contoh-contoh melalui demonstrasi gerakan. Pemberian informasi tentang bentuk-bentuk gerakan yang akan dilakukan dengan segala aspeknya,belum banyak membantu peserta didik. Hal ini disebabkan karena pemberian informasi secara verbal bagi individu yang berada pada fase belajar tingkat pertama merupakan suatu gerak yang abstrak. Sedangkan mereka belum memiliki pengalaman gerak. Oleh karenanya merupakan suatu yang sangat membantu peserta didik, bila guru menerangkan bentuk-bentuk gerakan yang akan dilakukan tidak hanya secara verbal, tetapi juga diiringi dengan demonstrasi bentuk gerakan yang akan dilakukan.

  • Implikasi ciri-ciri fase belajar motorik tingkat pertama ke dalam proses pembelajaran

Dengan mengetahui perkembangan kognitif anak, maka dalam pembelajaran dapat diterapkan hal-hal sebagai berikut. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak

  1. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
  2. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
  3. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
  4. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
  5. Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
  6. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
  7. Tidak menekankan pada praktek – praktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
  8. Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

Menurut Brunner, impilkasi perkembangan kognitif dalam pembelajaran sebagai berikut.

  1. Anak memiliki cara berpikir yang berbeda dengan orang dewasa. Guru perlu memperlihatkan fenomena atau masalah kepada anak. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan wawancara atau pengamatan terhadap objek.
  2. Anak, terutama pada pendidikan anak usia dini dana anak SD kelas rendah, akan belajar dengan baik apabila mereka memanipulasi objek yang dipelajari, misalnya dengan melihat, merasakan, mencium, dan sebagainya. Pendekatan pembelajaran diskoveri atau pendekatan pembelajaran induktif lainnya akan lebih efektif dalam proses pembelajaran.
  3. Pengalaman baru yang berinteraksi dengan struktur kognitif dapat menarik minat dan mengembangkan pemahaman anak. Oleh karena itu, pengalaman baru yang dipelajari anak harus sesuai dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak.

Dalam pembelajaran, Bruner menggunakan cara belajar discovery learning (belajar penemuan) yang digagas sesuai dengan pencarian pengetahuan atau ilmu secara aktif yang dilakukan oleh si pembelajar atau siswa. Hasilnya adalah apa yang ditemukan akan memberikan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi si pembelajar. Dengan menerapkan cara belajar discovery learning akan memberikan tiga manfaat besar bagi si pembelajar atau siswa, antara lain:

  1. Pengetahuan yang diperoleh akan dapat bertahan lama dan lebih mudah diingat dengan dibandingkan dengan cara belajar mendengarkan.
    1. Hasil belajar yang didapat mempunyai efek ftransfer yang lebih baik dari hasil belajar lainnya.
    1. Dengan belajar menggunakan metode discovery learning, nalar si pembelajar akan aktif bekerja dan memiliki peningkatan. Hal ini terjadi karena si pembelajar dituntut berpikir secara bebas.

Dengan demikian, cara belajar Bruner dalam bingkai kognitif melibatkan tiga proses yang bersama. Pertama, memperoleh informasi baru, artinya adanya penghalusan dan penambahan dari informasi yang dimiliki seseorang sebelumnya. Kedua, transformasi informasi, artinya cara yang dilakukan oleh seseorang dalam menerapkan pengetahuan barunya yang sesuai dengan tugasnya. Ketiga, menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Di sini adanya penilaian mengenai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan sudah cocok dengan tugas yang ada.

E. Kesimpulan

Perkembangan adalah produk dari proses biologis, kognitif, dan sosioemosional, yang sering kali saling terkait. Periode perkembangan mencakup bayi, anak-anak awal, menengah dan akhir, remaja, dan dewasa awal. Jean Piaget dalam teorinya menyatakan perkembangan kognitif terjadi dalam urutan empat tahap, yaitu sensori motor (dari kelahiran hingga usia 2 tahun), pra-operasional (3-7 tahun), operasional konkret (7-11 tahun), dan operasional formal (11-15 tahun). Pada masing-masing tahap mengalami kemajuan secara kualitatif. Lain halnya dengan Bruner, perkembangan kognitif seseorang ditandai oleh meningkatnya variasi respon terhadap stimulus. Perkembangan kognitif seseorang berkembang dari tahap enaktif ke ikonik dan pada akhirnya ke simbolik.

Melalui pandangan ahli tersebut, tenaga pendidik dalam menyiapkan atau merancang kegiatan pembelajaran disesuiakan dengan perkembangan kognitif peserta didik sehingga pelaksanaan pembelajaran yang diberikan sesuia dengan “apa maunya peserta didik bukan apa maunya pendidik”. Dengan mengenal perkembangan kognitif peserta didik, bahan ajar dan contoh-contoh yang disiapkan akan membantu peserta didik untuk memahami dan mencerna sesuai dengan pengalaman mereka. Di samping itu, penggunaan metode yang tepat akan membantu peserta didik untuk aktif dalam memberikan gagasan-gagasan yang inovatif dan kreatif. Jika pendidik tidak memahami dan mengenal perkembangan peserta didik maka pembelajaran yang sajikan merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal karena telah menghambat perkembangan peserta didik, baik dari segi intelegensi, spiritual maupun emosinal peserta didik.

Pada tahap kognitif ini indera yang paling dominan adalah indra penglihatan (mata). Sehingga memberi contoh dengan demonstrasi gerakan akan sangat membantu anak dalam memahami gerakan. Hal tersebut dikarenakan pada tingkat pertama anak cenderung belum memiliki kemampuan yang baik dalam penerimaan dan pengolahan informasi sehingga akan sulit dipahami jika anak diberi penjelasan secara verbal. Contoh dalam olahraga yakni ketika guru menjelaskan kepada anak didik cara melakukan lay up pada bola basket.

Sumber :

http://www.kompasiana.com/razafpari/ciri-ciri-perkembangan-kognitif-sepanjang-kehidupan_54f3aa49745513902b6c7c1d

http://www.hiithighintensityintervaltraining.ga/2016/10/tahapan-belajar-keterampilan-gerak-fase-kognitif.html

DR. PHIL. YANUAR KIRAM. 1992. BELAJAR MOTORIK : DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI PROYEK PEMBINAAN TENAGA KEPENDIDIKAN.